Kamis, 15 Maret 2012

Jenis-jenis perjanjian kerja di Indonesia


Perjanjian kerja adalah perjanjian antara pekerja / buruh dengan pengusaha atau pemberi kerja yang memuat syarat-syarat kerja, hak, dan kewajiban para pihak[1]. ketentuan Pasal 1 (14) UU  No 13 Tahun 2003
   Perjanjian kerja pada dasarnya harus memuat pula ketentuan-ketentuan yang berkenaan dengan hubungan kerja itu, yaitu hak dan kewajiban pekerja/buruh dan hak dan kewajiban pengusaha.  Ketentuan-ketentuan ini dapat pula ditetapkan dalam peraturan perusahaan yaitu peraturan yang secara sepihak ditetapkan dalam peratuan perusahaan.  Dapat pula ditetapkan dalam suatu perjanjian, hasil musyawarah antara serikat pekerja (serikat pekerja seluruh Indonesia misalnya) dengan pihak  pengusaha, perjanjian ini disebut perjanjian kerja bersama (PKB)[2].
        Prof. Imam Soepomo berpendapat hubungan hukum antara pekrja/buruh dengan pengusaha, terjadi setelah diadakan perjanjian, dimana pekerja/buruh menyatakan kesanggupannya untuk bekerja pada majikan dengan menerima upah, dan dimana pengusaha menyatakan kesanggupannya untuk mempekerjakan buruh denan membayar  upah[3].  Perjanjian kerja yang menimbulkan hubungan kerja mempunyai unsur: Pekerjaan, upah dan perintah.  Dengan demikian agar dapat disebut perjanjian kerja harus dipenuhi tiga unsure[4], yaitu sebagai berikut:
a.       Ada orang dibawah pimpinan orang lain
            Adanya unsur perintah menimbulkan adanya pimpinan orang lain.  Dalam perjanjian kerja unsur perintah ini memegang peranan yang pokok, sebab tanpa adanya unsur perintah, hal itu bukan perjanjian kerja.  Dengan adanya unsur perintah dalam perjanjian kerja, kedudukan kedua belah pihak tidak sama yaitu pihak satu kedudukannya diatas (pihak yang memerintah) sedangkan pihak lain kedudukannya dibawah (pihak yang diperintah).  Kedudukan yang tidak sama ini disebut hubungan subordinasi serta ada yang menyebutnya hubungan kedinasan.
             Oleh karena itu kalau kedudukan kedua belah pihak tidak sama atau ada subordinasi, disitu ada perjanjaian kerja.  Sebaliknya jika kedudukan kedua belah pihak sama atau ada koordinasi , disitu tidak ada perjanjian kerja, melainkan perjanjian yang lain .
b.      Penunaian kerja
            Penunaian kerja maksudnya melakukan pekerjaan.  Disini tidak dipakai istilah melakukan pekerjaan sebab istilah tersebut mempunyai arti ganda. Istilah melakukan pekejaan dapat berarti persewaan tenaga kerja atau penunaian kerja.  Dalam penunaian kerja yang tersangkut dalam kerja adalah tenaga manusia , sehingga upah sebagai kontraprestasi dipandang dari sudut ekonomis.  Dalam penunaian kerja yang tersangkut dalam kerja adalah manusia itu sendiri sehingga upah segbagi kontraprestasi dipandang dari sudut social ekonomis.
c.       Adanya upah.
Upah menurut Pasal 1 angka 30 undang-undang ketenagakerjaan adalah hak pekerja/buruh yang diterima dan dinyatakan dalam bentuk uang sebagai imbalan dari pengusaha atau pemberi kerja kepada pekerja/buruh yang ditetapkan dan dibayarkan menurut suatu perjanjain kerja, kesepakatan, atau peraturan perundang-undangan, termasuk tunjangan bagi pekerja/buruh dan keluarganya atas suatu pekerjaan dan/atau jasa yang telah dan/atau akan dilakukan. Jadi, upah adalah imbalan termasuk tunjangan yang diterima pekerja/buruh
            Pekerja/buruh adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain ( Pasal 1 ayat (3) UU No 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan)
          Imam Soepomo berpendapat[5]: Pengertian pekerja adalah sangat luas yaitu tiap orang melakukan pekerjaan baik dalam hubungan kerja-maupun diluar hubungan kerja.         
                  Pengusaha adalah  (Pasal 5):
a.             Orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang menjalankan suatu perusahaan milik sendiri;
b.    Orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang secara berdirisendiri  menjalankan perusahaan bukan miliknya;
c.   orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang berada di Indonesia mewakili perusahaan sebagaimana dimaksud dalam huruf (a) dan (b) yang  berkedudukan di luar wilayah Indonesia.
Perusahaan adalah seperti di atur dalam  Pasal 6 sebagai berikut :
a.    Setiap bentuk usaha yang berbadan hukum atau tidak, milik orang perseorangan, milik persekutuan, atau milik badan hukum, baik milik swasta maupun milik negara yang mempekerjakan pekerja/buruh dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain.
b.Usaha-usaha sosial dan usaha-usaha lain yang mempunyai pengurus dan mempekerjakan orang lain dengan membayar upah atau imbalan dalam  bentuk lain
1.            Perjanjian kerja waktu  tertentu
           Perjanjian kerta waktu tertentu selanjutnya disebut PKWT diatur secara khusus dalam Pasal 56 s/d 63 UU NO 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan dan Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor:KEP.100/MEN/VI/2004 tentang ketentuan pelaksanaan perjanjian kerja waktu tertentu, dalam praktek sebagai panduan teknis adalah Keputusan menteri terebut diatas[6].
       PKWT adalah perjanjian kerja antara pekerja/buruh  dengan pengusaha untuk mengadakan hubungan kerja dalam waktu tertentu atau untuk pekerja tertentu (Pasal 1 ayat 1).  Hal yang paling mendasar yang harus dipahami sebelum melakukan PKWT adalah memahami tenang jenis dan sifat atau kegiatan pekerjaan yang akan selesai dalam waktu tertentu sebagai diatur dalam Pasal 159 ayat (I) huruf (a) sampai dengan huruf (d) sebagai berikut[7]:
b.            Pekerjaan yang sekali selesasi atau temporal
c.             Pekerjaan yang diperkirakan selesainya tidak terlalu lama (paling  lama tiga tahun)
d.            Pekerjaan musiman
e.             Pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru, kegiatan baru atau produk tambahan yang masih dalam percobaan atau penjajakan.     
           Alternatif perjanjian kerja haruslah tepat sebelum mengadakan hubungan kerja karena berakibat hukum bagi kedua belah pihak.  Hal yang menarik untuk dicermati Putusan MA NO.131K/PDT.SUS/2007.  Ada empat pertanyaan tentang jenis dan sifat pekerjaan Waitress coffee shop pada usaha perhotelan yang perlu dijawab untuk menentukan apakah jenis dan sifat pekerjaan tersebut sesuai jika dilakukan dengan PKWT.  Adapun pertanyaan tersebut adalah berdasarkan Pasal 59 ayat (1) huruf a s/d d, UU NO 13/2003 yakni [8]:
a.       Apakah pekerjaan waitress coffee shop merupakan Pekerjaan yang sekali selesasi atau temporal/sementara sifatnya ?
b.      Apakah pekerjaan waitress coffee shop merupakan Pekerjaan yang diperkirakan selesainya tidak terlalu lama (paling lama tiga tahun) ?
c.       Apakah pekerjaan waitress coffee shop merupakan Pekerjaan yang sifatnya  musiman ?
d.      Apakah pekerjaan waitress coffee shop merupakan Pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru, kegiatan baru atau produk tambahan yang masih dalam percobaan atau penjajakan.
           Dari keseluruhan pertanyaan tersebut sesungguhnya bahwa pekerjaan waitress coffee shop merupakan pekerjaan yang tidak dapat dilakukan dengan PKWT.  Putusan MA tersebut menerima alas an pengusaha/pemohon kasasi bahwa pekerjaan waitress coffee shop bukan merupakan pekerjaan pokok dalam usaha perhotelan, sehingga apabila pengusaha tidak bersedia menerima pekerja dengan status Perjanjian kerja waktu tidak tertentu/tetap untuk pekerjaan waitress coffee shop, maka yang dapat dilakukan oleh pengusaha adalah melakukan Outsourcing[9].
           Prinsip hukum dari PKWT yang mendasarkan pada jangka waktu tertentu , dapat diadakan untuk paling lama dua tahun dan diperpanjang satu kali paling lama satu tahun.  Ketentuan lainnya mengenai PKWT ini berdasarkan Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan transmigrasi Republik Indonesia NOMOR : KEP.100/MEN/VI/2004 sebagai berikut :         
A.             PKWT Untuk Pekerjaan Yang Sekali Selesai Atau Sementara Sifatnya Yang Penyelesaiannya Paling Lama 3 (Tiga) Tahun
Pasal 3 (1)   PKWT untuk pekerjaan yang sekali selesai atau sementara sifatnya adalah PKWT yang didasarkan atas selesainya  pekerjaan tertentu.
(2)   PKWT sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dibuat untuk paling lama 3 (tiga) tahun.
(3)                 Dalam hal pekerjaan tertentu yang diperjanjikan dalam PKWT sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat diselesaikan lebih cepat dari yang diperjanjikan maka PKWT tersebut putus demi hukum pada saaat selesainya pekerjaan.
      B.  PKWT Untuk Pekerjaan Yang Bersifat Musiman
Pasal 4 (1)      Pekerjaan yang bersifat musiman adalah pekerjaan yang pelaksanaannya tergantung pada musim atau cuaca.
(2)  KWT yang dilakukan untuk pekerjaan sebagaimana dimaksud dalam  ayat (1) hanya dapat dilakukan untuk satu jenis      pekerjaan pada musim tertentu.
Pasal 5 (1)      Pekerjaan-pekerjaan yang harus dilakukan untuk memenuhi pesanan atau target tertentu dapat dilakukan dengan PKWT sebagai pekerjaan musiman.
(2)   PKWT yang dilakukan untuk pekerjaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya diberlakukan untuk pekerja/buruh yang melakukan pekerjaan tambahan.
        C. PKWT untuk pekerjaan yang berhubungan   dengan produk baru
Pasal 8 (1) PKWT dapat dilakukan dengan pekerja/buruh untuk melakukan pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru, kegiatan baru, atau produk tambahan yang masih dalam percobaan atau penjajakan.
(2)      PKWT sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat dilakukan untuk jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun dan dapat diperpanjang untuk satu kali paling lama 1 (satu) tahun.
(3)     PKWT sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak dapat dilakukan pembaharuan.
      D.     Perjanjian Kerja Harian Atau Lepas
   Pasal 10      ayat (1) Untuk pekerjaan-pekerjaan tertentu yang berubah-ubah dalam hal waktu dan volume pekerjaan serta upah didasarkan  pada kehadiran,  dapat dilakukan dengan perjanjian kerja harian atau lepas.
(2)   Perjanjian kerja harian lepas sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dengan ketentuan pekerja/buruh bekerja kurang dari 21  (dua puluh satu ) hari dalam 1 (satu)bulan.
(3)  Dalam hal pekerja/buruh bekerja 21 (dua puluh satu) hari atau lebih selama 3 (tiga) bulan berturut-turut atau lebih maka perjanjian kerja harian lepas berubah menjadi PKWTT
E.  Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu  yang selanjutnya disebut PKWTT  adalah perjanjian kerja antara pekerja/buruh dengan pengusaha untuk mengadakan hubungan kerja yang bersifat tetap.
Perubahan PKWT Menjadi PKWTT
Pasal 15 ayat (1) PKWT yang tidak dibuat dalam bahasa Indonesia dan huruf latin berubah menjadi PKWTT sejak adanya hubungan kerja.
        ayat (2) dalam hal PKWT dibuat tidak memenuhi ketentuan   sebagaimanadimaksud dalam Pasal 4 ayat (2), atau Pasal 5 ayat (2), maka PKWT berubah menjadi PKWTT sejak adanya hubungan kerja.
Ayat (3) dalam hal PKWT dilakukan untuk pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru menyimpang dari ketentuan Pasal 8.
      3.  PERJANJIAN MAGANG  
         Dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia, dikenal berbagai macam bentuk pemagangan (magang) yakni pemagangan dalam rangka pelatihan kerja, pemagangan untuk tujuan akademis, dan magang untuk pemenuhan kurikulum atau persyaratan suatu profesi tertentu.  Pemagangan untuk tujuan akademis, pemenuhan kurikulum atau persyaratan suatu profesi tertentu, contohnya adalah[10]:
a)     Ketentuan pendidikan dan pelatihan praktek kedokteran (koas/magang) dalam rangka uji kompetensi dokter Indonesia berdasarkan Pasal 28 ayat (1) UU Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran;
b)    Pemagangan untuk memenuhi persyaratan menjadi seorang advokat yang dilakukan sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun (vide Pasal 3 ayat [1] huruf g UU No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat jo Pasal 6 Peraturan Perhimpunan Advokat Indonesia No. 1 Tahun 2006 tentang Pelaksanaan Magang Untuk calon Advokat);
c)    Persyaratan magang bagi calon Notaris dalam waktu 12 (dua belas) bulan berturut-turut (vide Pasal 3 huruf f UU No. 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris jo Pasal 2 ayat [1] huruf I Peraturan Menteri Hukum dan HAM No. M.01-HT.03.01 Tahun 2006 tentang Syarat dan Tata Cara Pengangkatan, Perpindahan dan Pemberhentian Notaris).
Jadi, pemagangan dalam UU 13 tahun 2003 tntang Ketenagakerjaan dimaksudkan untuk pelatihan kerja dan peningkatan kompetensi kerja, bukan untuk tujuan akademis, pemenuhan kurikulum/persyaratan suatu profesi tertentu.
Pemagangan adalah bagian dari sistem pelatihan kerja yang diselenggarakan secara terpadu antara pelatihan di lembaga pelatihan dengan bekerja secara  di bawah bimbingan dan pengawasan instruktur atau pekerja/buruh yang lebih berpengalaman, dalam proses produksi barang dan/atau jasa di perusahaan, dalam rangka menguasai keterampilan atau keahlian tertentu  ( kententuan Pasal 1 ayat (11) UU NO 13 tahun 2003 tentantang ketenagakerjaan juncto pasal 1ayat (1) Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor  PER.22/MEN/IX/2009 tentang Penyelenggaraan Pemagangan Di Dalam Negeri.
 Salah satu ciri utama pemagangan adalah bahwa para peserta terlibat langsung dalam proses produksi (barang atau jasa), sehingga dalam penyelenggaraan pemagangan mutlak adanya perusahaan[11].   Pemagangan dilaksankan  berdasarkan perjanjian pemagangan .
Perjanjian pemagangan adalah perjanjian antara peserta pemagangan dengan penyelenggara pemagangan yang dibuat secara tertulis yang memuat hak dan kewajiban serta jangka waktu pemagangan (Pasal 1 ayat 10 Peraturan Menteri Tenaga kerja RI No:22/MEN/IX/2009).
            Pelatihan kerja adalah keseluruhan kegiatan untuk memberi, memperoleh, meningkatkan, serta mengembangkan kompetensi kerja, produktivitas, disiplin, sikap,dan etos kerja pada tingkat keterampilan dan keahlian tertentu sesuai dengan jenjang dan kualifikasi jabatan atau pekerjaan (Pasal 1 (9) UU No 13/2003)
Sebagai upaya memaksimalkan pelatihan kerja, perusahaan yang wajib meningkatkan kompetemsi pekerja/buruh melalui pelatihan kerja adalah perusahaan yang mempekerjakan seratus orang atau lebih, dan pelatihan sebagaimana dimaksud harus sekurang-kurangnya 5 % dari jumlah pekerja/buruh diperusahaan tersebut setiap tahun ( Pasal 2 Keputusan Menteri Tenaga Kerja RI No: KEP.261/MEN/XI/2004.
Selanjutnya perusahan dan atau lembaga yang menyelenggarakan pelatihan kerja wajib memberikan surat tamat pelatihan kerja bagi peserta yang dinyatakan lulus (Pasal 7 ayat1) dan perusahaan melaporkan pelaksanaan kegiatan pelatihan kerja secara piodik sesuai dengan Undang-undang No 7 tahun 1981 tentang Wajib Lapor Ketenagakerjaan di Perusahaan.
Berdasarkan data Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI pemagangan dalam negeri pada 2010 mencapai 10.000 orang sementara luar negeri 2.250 orang. peserta pemagangan mulai dari 1993 hingga 2010 di negeri Sakura itu telah mencapai 41.057 orang. Sedangkan  jumlah pemagangan dalam negeri dari 2007- 2010 mencapai 27.740 orang.
Sementara untuk rencana pemagangan dalam negeri pada 2011 ini mencapai 10.000 orang[12]. Upaya pemerintah tersebut dalam rangka meningkatkan kompetensi kerja. Bahwa magang dimaksudkan untuk melatih calon tenaga kerja agar memiliki keahlian dan ketrampilan yang matang sehingga mudah terserap di dunia kerja[13].
            Kompetensi kerja adalah kemampuan kerja setiap individu yang mencakup aspek pengetahuan, keterampilan, dan sikap kerja yang sesuai dengan standar yang ditetapkan.(pasa1 (10) Peraturan Menteri tenaga kerja NO: 21/MEN/X/2007.
            Ketentuan-ketentuan mengenai perjanjian magang telah ditentukan secara lengkap berdasarkan Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi     Republik Indonesia Nomor PER.22/MEN/IX/2009 tentang penyelenggaraan pemagangan di dalam negeri sebagai berikut :
      Pasal 4                Perusahaan hanya dapat menerima peserta pemagangan paling banyak 30% dari jumlah karyawan

         Pasal 5 (1)           Peserta pemagangan di dalam negeri terdiri dari:    pencari kerja, siswa LPK, dan tenaga kerja yang akan ditingkatkan kompetensinya.
 (2)           Sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat mengikuti pemagangan apabila telah memenuhi persyaratan:
                                       a.      usia minimal 18 (delapan belas) tahun;
   b.      memiliki bakat, minat, dan memenuhi persyaratan   yang sesuai dengan program pemagangan; dan
                                       c.      menandatangani perjanjian pemagangan.

           Pasal 6                 Penyelenggara pemagangan harus memiliki:
                                       a.      program pemagangan;
                                       b.      sarana dan prasarana;
                                       c.      tenaga pelatihan dan pembimbing pemagangan; dan
                                         d.      pendanaan.

Pasal 7  (1)         Program pemagangan dapat disusun oleh perusahaan  dan/atau bersama‑sama LPK.
(2)           Program Pemagangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sekurang-kurangnya memuat:
                                                a.         nama program;
                                                b.         tujuan program;
                                             c.            jenjang kualifikasi tertentu dan/atau kompetensi yang akan dicapai dalam jabatan tertentu;
                                                d.         uraian pekerjaan atau unit kompetensi yang  akan dipelajari;
                                                e.         jangka waktu pemagangan;
                                                f.          kurikulum dan silabus; dan
                                                g.         sertifikasi.
(3)                    Program pemagangan sebagaimana   dimaksud pada ayat (2) mengacu pada:
                                                a.         SKKNI;
                                                b.         Standar Internasional; dan/atau
                                                c.         Standar Khusus.
                        (4)                    Jangka waktu pemagangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf e, dibatasi paling lama 1 (satu) tahun.
                        (5)                    Dalam hal untuk mencapai kualifikasi kompetensi tertentu akan memerlukan waktu lebih dari 1 (satu) tahun, maka harus dituangkan dalam perjanjian pemagangan baru dan dilaporkan kepada dinas kabupaten/kota setempat.
                                          (6)                     Program pemagangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus diketahui dan disahkan oleh dinas kabupaten/kota setempat.

              Pasal 8                       Sarana dan prasarana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf b harus dapat memenuhi kebutuhan untuk menyelenggarakan pelatihan:
                                                a.         teori;
                                                b.         simulasi/praktik;
                                               c.          bekerja secara langsung di bawah bimbingan pekerja yang berpengalaman sesuai dengan program pemagangan; dan
                                                d.         keselamatan dan kesehatan kerja (K3).

             Pasal 9                        Pembimbing pemagangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf c dapat membimbing peserta pemagangan sesuai dengan kebutuhan program pemagangan.

              Pasal 10                     Penyelenggara pemagangan tidak diperbolehkan mengikutsertakan peserta yang telah mengikuti program pemagangan pada program/ jabatan/kualifikasi yang sama.

           Pasal 11 (1)                 Penyelenggaraan pemagangan dilaksanakan atas dasar    perjanjian tertulis antara peserta pemagangan dengan perusahaan.
(2)                 Perjanjian pemagangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sekurang-kurangnya memuat:
                                                a.  Hak dan kewajiban peserta;
                                                b.  Hak dan kewajiban penyelenggaraan program;
                                             c.   Jenis program dan kejuruan.

            Pasal 12 (1)                 Perjanjian pemagangan antara peserta pemagangan dengan perusahaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 harus diketahui dan disahkan oleh dinas kabupaten/kota setempat.
                           (2)                 Pengesahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus selesai dalam jangka waktu paling lama 5 (lima) hari kerja.

            Pasal 15 (1)                 Peserta pemagangan berhak untuk:
           a.   Memperoleh fasilitas keselamatan dan kesehatankerja selama mengikuti pemagangan;
                                               b.  Memperoleh uang saku dan/atau uang   transport;
c.  Memperoleh perlindungan dalam bentuk jaminan   kecelakaan kerja dan kematian; dan
                                    d.   Memperoleh sertifikat pemagangan apabila dinyatakan lulus.
                           (2)                Penyelenggara pemagangan berhak untuk:
                                                a.   Memanfaatkan hasil kerja peserta   pemagangan; dan
                                         b. Memberlakukan tata tertib dan perjanjian  pemagangan.

            Pasal 16 (1)                 Peserta pemagangan berkewajiban untuk:
                                                a.   Mentaati perjanjian pemagangan;
                                                b.   Mengikuti program pemagangan sampai selesai;
          c.    Mentaati tata tertib yang berlaku di perusahaanpenyelenggaran pemagangan dan
                                     d.  Menjaga nama baik perusahaan penyelenggara pemagangan.
                           (2)                 Penyelenggara pemagangan berkewajiban untuk:
                                                        a. Membimbing peserta pemagangan sesuai denganprogram pemagangan;
                                                b.   Memenuhi hak peserta pemagangan sesuai dengan perjanjian pemagangan;
                                   c.          menyediakan alat pelindung diri sesuai dengan persyaratan keselamatan dan kesehatan kerja (K3);
                                   d.          memberikan perlindungan dalam bentuk asuransi kecelakaan kerja kepada peserta;
                                   e.          memberikan uang saku dan/atau uang transport peserta;
                                     f.         mengevaluasi peserta pemagangan; dan
                                     g.         memberikan sertifikat pemagangan bagi peserta yang dinyatakan lulus.

             Berdasarkan Pasal 3 ayat (2) dan Pasal 6 ayat (1) juncto Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja (UU Jamsostek), pada prinsipnya setiap tenaga kerja berhak atas jaminan sosial tenaga kerja, yang meliputi jaminan kecelakaan kerja (JKK), jaminan kematian (JK) dan jaminan hari tua (JHT) serta jaminan pelayanan kesehatan (JPK)[14].
              Namun, khusus untuk tenaga kerja yang magang, berdasarkan Pasal 8 ayat (2) huruf a UU Jamsostek hanya diwajibkan ikut Jamsostek untuk program JKK saja. Artinya, tidak wajib ikut program JK, JHT dan JPK.
Produk akhir dari pemagangan dalam rangka pelatihan kerja adalah sertifikasi kompetensi kerja. Hal ini diakui dalam Pasal 23 UU Ketenagakerjaan: Tenaga kerja yang telah mengikuti program pemagangan berhak atas pengakuan kualifikasi kompetensi kerja dari perusahaan atau lembaga sertifikasi.
Sedangkan, produk dari pemagangan dalam rangka persyaratan akademis atau pemenuhan kurikulum/persyaratan suatu profesi tertentu,
adalah sertifikat magang untuk persyaratan minimal (minimum requirement) suatu jabatan atau profesi.  
Realitas kondisi kerja dengan hak-hak legalnya yang umumnya belum terpenuhi, Jika selama ini kita lebih terfokus pada pekerja tetap/PKWTT, sayangnya kita kerap alpa juga memperhatikan hak-hak pekerja magang.  Mantan Menteri Tenaga Kerja Dr.Ir. Erman suparno, MSI.,MBA. Menyatkan dalam bukunya National manpower strategy (strategi ketenagakerjaan Nasional )[15]:
Pekerja magang yang sebagaian mengisi tanggung jawab dalam mengerjakan berbagai tugas diperusahaan layaknya pekerja permanen, umunya tidak memperoleh upah.

Pernyatan diatas menambah semangat dan antusias penulis untuk melakukan penelitian mengenai alternatif  perjanjian ketenagakerjaan study kasus di PT. Bank Central Asia Tbk cabang Pangkalpinang, agar dapat diketahui apakah perjanjian pemagangan telah dilaksanakan sesuai dengan tujuan awal secara maksimal  atau setidak-tidaknya telah  dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.







[1] .  UU NO 13 tahun 2003 Op. cit.  pasal 1 (14)
[2] .  Imam soepomo, Ibid  hlm 71.
[3] .  Imam soepomo dalam Maimun Hukum ketenagakerjaan suatu pengantar Op.cid. hlm 41.
[4] .  F.X. Djumialdji, Perjanjian Kerja, Cetakan Kedua,Sinar Grafika, Jakarta, 2006. hlm 7-9
[5] .  Ibid, hlm 33
[6] .  Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor : KEP.100/MEN/VI/2004 tentang Ketentuan Pelaksanaan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu
[7] .  Farianto dan Darmanto Law firm. Op. cid. hlm 3.
[8] .  Ibid hlm.4.

[9] Putusan Mahkamah agung No 131K/PDT.SUS/2007 dalam Farianto &Himpunan Putusan Mahkamah Agung dalam Perkara PHI tentang Pemutusan Hubungan Kerja disertai Ulasan Hukum. Jakarta,  PT.RajaGrafindo persada, 2009, hlm 4.

[10] .  http://hukumonline.com/klinik/detail/lt4c6cb635d9527 Esensi Perjanjian Pemagangan Agar Tidak Menyalahi Aturan di akses tanggal 19 september 2011

[11] .http://www.pemagangan.com/script/1programpemagangan.php.diakses tanggal 18 September 2011
[13] .  Hukumhttp://akatiga.org/index.php/artikeldanopini/perburuhan/136-menyejahterakan-buruh diakses tanggal : 18 september 2011.

[14] . Undang Nomor 3 Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja
[15] .  Erman suparno.  Op.cit, hlm  48.