Lahirnya hubungan hukum antara pengusaha
dengan pekerja didasari oleh suatu perjanjian kerja yang memiliki unsur
pekerjaan, upah dan perintah[1]. Hubungan kerja menurut UU No 13 tahun 2003 Pasal
1 (15) Hubungan kerja adalah hubungan antara pengusaha dengan pekerja/buruh
berdasarkan perjanjian kerja, yang mempunyai unsur pekerjaan, upah, dan
perintah.
Mantan
guru besar hukum ketenagakerjaan Universitas Indonesia Prof.
Imam soepomo secara rinci
menjelaskan pengertian dan unsur-unsur
hubungan kerja sebagai berikut: Pada dasarnya hubungan kerja, yaitu
hubungan antara buruh dan majikan, terjadi setelah diadakan perjanjian, dimana
buruh menyatakan kesanggupannya untuk bekerja pada majikan dengan menrima upah
dan dimana majikan menyatakan kesanggupannya untuk mempekerjakan buruh dengan
membayar upah.
Perjanjian yang sedemikian itu disebut
perjanjian kerja. Istilah perjanjian
kerja menyatakan bahwa perjanjian ini mengenai kerja, yakni dengan adanya
perjanjian kerja timbul kewajiban suatu pihak untuk bekerja, jadi berlainan
dengan Peraturan ketenagakertaan yang
tidak menimbulkan hak atas dan kewajiban
untuk melakukan pekerjaan, tetapi memuat tentang syarat-syarat
ketenagakerjaan.
Bekerja
pada pihak lainnya, menunjukkan bahwa pada umumnya hubungan itu sifatnya ialah
bekerja dibawah pimpinan pihak lain.
Sifat ini perlu dikemukakan untuk membedakannya dari hubungan antara
dokter misalnya, dengan seorang yang berobat, dimana dokter itu melakukan
pekerjaan untuk orang yang berobat, tetapi tidak dibawah pimpinannya. karena itu perjanjian antara seorang dokter
dengan orang yang berobat, bukanlah perjanjian kerja, tetapi perrjanjian untuk
melakukan pekerjaan tertentu; jadi
dokter bukanlah buruh dan orang yang berobat bukanlah majikan dan hubungan
antara mereka bukanlah hubungan hubungan-kerja[2].
Adanya buruh ialah
hanya jika ia bekerja dibawah pimpinan pihak lainnya dan adanya pengusaha hanya, jika dia memimpin pekerjaan yang
dilakukan oleh pihak kesatu. Hubungan pekerja/buruh dan pengusaha tidak juga terdapat pada perjanjian
pemborongan-pekerjaan, yang ditujukan kepada hasil pekerjaan.
Bedanya perjanjian pemborongan-pekerjaan
dengan perjanjian melakukan pekerjaan tertentu ialah bahwa perjanjian ini tidak
melihat hasil yang dicapai. Jika yang
berobat itu, tidak menjadi sembuh bahkan akhirnya misalnya meninggal dunia,
namun dokter itu telah memenuhi
kewajibannya menurut perjanjian.
Perjanjian
dapat dibedakan menjadi dua yaitu[3]
1. Perjanjian dalam
arti luas adalah setiap perjanjian yang menimbulkan akibat hukum sebagaimana
yang dikendaki oleh para pihak, misalnya perjanjian tidak bernama atau
perjanjian jenis baru.
2.
Perjanjian dalam arti sempit adalah
hubungan hukum dalam lapangan harta kekayaan seperti yang dimaksud dalam Buku III
KUHPerdata yang diatur dalam BAB II dan BAB V sampai dengan BAB XVIII Buku III KuhPerdata misalnya perjanjian
bernama.
Suatu
perjanjian harus memenuhi azas-azas hukum perjanjian Dalam hukum perjanjian ada
beberapa azas, namun secara umum azas perjanjian ada lima, yaitu[4]
:
1.
Azas kebebasan berkontrak
Kebebasan mengadakan perjanjaian
adalah salah satu azas dalam hukum umum yang berlaku didunia, azas ini
memberikan kebebasan kepada setiap warga negara untuk mengadakan perjanjian
tentang apa saja, asalkan tidak bertentangan atau sejauh tidak melanggar peraturan perundang-undangan, keteriban umum, dan kesusilaan. Dalam
perkembangannya hal ini tidak lagi besifat mutlak tetapi relatif (kebebasan
berkontrak yang bertanggung jawab). Azas
inilah yang menyebabkan hukum perjanjian bersistem terbuka.
Jika
dipahamin secara seksama maka azas kebebasan berkontrak memberikan kebebasan
kepada para pihak untuk[5]
:
a. Membuat atau tidak membuat perjanjian
b. Mengadakan perjanjian dengan
siapapun
c. Menentukan isi perjanjain,
pelaksanaan, dan persyaratan
d. Menentukan bentuknya perjanjian
yang secara tertulis atau secara lisan.
e. Namun keempat syarat tersebut diatas boleh
dilakukan dengan syarat tidak melanggar Undang-undang, ketertiban dan kesusilaan.
2. Azas konsensualisme
Perjanjian lahir atau terjadi dengan adanya
kata sepakat (Pasal 1320, dan Pasal 1338). Hal ini dimaksudkan untuk mewujudkam kemauan
para pihak. Azas konsensualisme dapat ditelusuri
dalam rumusan Pasal 1320 ayat 1, dalam pasal ini ditentuka bahwa salah satu
syarat syahnya perjanjian adalah adanya kesepakatan kedua belah pihak, dengan
kata lain perjanjian itu syah jika jika sudah tercapai kesepakatan mengenai
hal-hal pokok dan tidak diperlukan lagi formalitas[6].
3.
Azas mengikatnya suatu perjanjain (azas Pacta suntservanda)
Perjanjian yang
dibuat secara syah berlaku sebagai Undang-undang bagi yang membuatnya Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata.
4.
Azas itikad baik (Togoe dentrow)
Perjanjian harus dilaksnakan
dengan itikad baik (pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata . Itikad baik ada dua yakni :
a. Bersifat obyektif, artinya
mengindahkan kepatutan dan kesusilaan. Contoh,
Arman melakukan perjanjian dengan Budi membangun rumah, Arman ingin memakai keramik cap gajah namun dipasaran
habis, maka diganti cap semut oleh Budi
b. Bersifat subjektif, artinya
ditentukan sikap batin seseorang contohnya, Adi ingin membeli motor kemudian datanglah Badu
(berpenampilan preman) yang mau menjual motor tanpa surat-surat dengan
harga sangat murah, Adi tidak mau membeli karena takut bukan barang halal atau
barang tidak legal.
5.
Azas kepribadian (personalitas)
Pada umunya tidak seorangpun
dapat mengadakan perjanjian, kecuali untuk dirinya sendiri. Pengecualiannya terdapat dalam pasal 1317
KUHPerdata tentang janji untuk pihak ketiga.
Syarat
syahnya perjanjain menurut Pasal 1320 KUHPerdata adalah sebagai berikut : Sepakat (Toestemming)Kesesuaian, kecocokan, pertemuan kehendakdari yang
mengadakan perjanjian atau pernyataan kehendak
yang di setujui antara pihak-pihak[7].
Unsur-Unsur
kesepakatan[8]
: Adalah adanya Offerte (penawaran)
yaitu pernyataan dari pihak yang menawarkan dan Acceptasi (penerimaan) adalah pernyataan pihak yang menerima
penawaran. Kecakapan di dalan dunia hukum, perkataan
orang (persoon) berarti pendukung hak
dan kewajiban yang juga disebut subyek hukum.
Dengan demikian maka dapat dikatakan bahwa setiap manusia baik warga
Negara maupun orang asing adalah pembawa hak (subyek hukum) yang memiliki hak dan
kewajiban untuk melakukan perbuatan hukum namun, kewenangan tersebut harus
didukung oleh kecakapan hukum dan kewenangan hukum[9]. Kecakapan berbuat adalah kewenangan untuk
melakukan perbuatan-perbuatan hukum sendiri[10].
Suatu hal tertentu Suatu hal tertentu
disini berbicara tentang objek perjanjian
(Pasal 1332 – 1334 KUHPerdata) objek perjanjian yang dapat dikatagorikan
dalam pasal tersebut[11]
yaitu Objek yang akan ada (kecuali warisan) asalkan dapat ditentukan
jenis dapat dihitung dan objek yang
dapat diperdagangkan (barang-barang yang
dipergunakan untuk kepentingan umum
tidak dapat menjadi objek perjanjian).
Suatu sebab yang halal Sebab
yang dimaksud adalah isi perjanjian itu sendiri atau tujuan dari para pihak
mengadakan perjanjian (Pasal 1337 KUHPerdata).
Halal adalah tidak bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum,
dan kesusilaan. Selain Syarat Pasal 1320
KHUPerdata, sering ditentukan syarat atau formalitas tertentu dengan peraturaan
perundang-undangan.
Syarat
kesepakatan dan kecakapan diatas biasanya disebut syarat subyektif, yakni
mengenai subyeknya, bila syarat ini tidak dipenuhi maka perjanjian dapat
dibatalkan (untuk membatalkan perjanjian
itu harus ada inisiatif dari salah satu pihak yang dirugikan untuk
membatalkannya[12]).
Batas
waktu untuk membatalkan 5 tahun (Pasal 1454
KUHPerdat
Syarat suatu hal
tertentu dan sebab yang halal disebut syarat obyektif , yaitu mengenai
obyeknya, bila syarat ini tidak dipenuhi maka perjanjian batal demi hukum
(sejak semula dianggap tidak pernah ada perjanjian sehingga tidak perlu
pembatalan)[13]. Terhadap perjanjian formil apabila tidak
dipenuhi formalitasnya yang telah ditetapkan undang-undang maka perjanjian itu
juga batal demi hukum[14]. Contoh perjanjian formil : Perjanjian
penghibahan benda tidak bergerak haarus menggunakan akta notaris, perjanjian
perdamaian harus secara tertulis
Di dalam hukum ada tiga macam pembatalan
yaitu[15]
: Batal demi hukum (Kembali ke keadaan semula) artinya akibat dari perbuatan
itu untuk sebagian atau seluruhnya bagi hukum dianggap tidak ada, tanpa diperlukan
lagi putusan hakim untuk pembatalan. Batal,
Perbuatan dan akibatnya dianggap tidak pernah ada Tetapi memerlukan keputusan
hakim untuk pembatalan. Selanjutnya
dapat dibatalkan yaitu Perbuatan dan akibatnya dianggap ada sampai saat adanya
pembatalan tetapi memerlukan keputusan hakim untuk pembatalan. Perkataan batal dalam hukum di dalam Pasal 1446 KUHPerdata artinya adalah dapat
dibatalkan
Perjanjian
menurut namanya, dibedakan menjadi perjannjian bernama/nominaat dan perjanjian
tidak bernama/innominaat/perjanjian jenis baru
(Pasal 1319 KUHPerdata)[16].
a. Perjanjian khusus/ bernama/nominaat/ adalah
perjanjian yang memiliki nama dan diatur dalam KUHPerdata[17]. Contoh perjanjian-perjanjian yang terdapat
dalam buku III Bab V-XVIII
KUHPerdata antara lain perjanjian
jual beli, perjanjian tukar menukar, perjanjian sewa menyewa, perjanjian
untuk elakukan pekerjaan, perjanjian
persekutuan, perjanjian tentang perkumpulan, perjanjian hibah, perjanjian
penitipan barang, perjanjian pinjam pakai, perjanjian pinjam-meminjam,
perjanjian bunga tetap atau bunga abadi, perjanjian untung-ungtungan,
perjanjian pemberian kuasa, perjanjian penanggungan, perjanjian perdamaian.
b. Perjanjian
tidak bernama/innominaat/perjanjian jenis baru adalah perjanjian yang timbul tumbuh dan hidup dalam
masyarakat karena azas kebebasan berkontrak dan perjanjian ini belum dikenal
pada saat KUHPerdata di undangkan[18].
Perlu diingat bahwa KUHD dan KUHPerdata pada awal pembentukannya merupakan satu
paket, maka perjanjian yang terdapat dalam KUHD misalnya perjanjian perwakilan
khusus (makelar, agen, komisoner, ) perjanjian pengakutan, atau perjanjian
asuransi, secara otomatis merupakan Perjanjian nominaat karena dikenal disaat
KUHPerdata diundangkan.
Perjanjian innominaat didasarkan pada azas kebebasan berkontrak maka system
pengaturan hukum perjanjian innominaat adalah sistem terbuka (open system), dan lain sebagainya[19].
Innominaat dibibedakan menjadi dua yaitu[20]:
a.
Perjanjian innominat yang
diatur secara khusus dan dituangkan dalam bentuk undang-undang dan/atau telah
diatur dalam pasal pasal tersendiri,
misalnya Kontrak production sharing yang diatur dalam UU NO 22 tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi; contract joint venture yang diatur dalam
UU NO 1 tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing; kontrak karya yang diatur
dalam UU N0 11 tahun 1967 tentang Pertambangan; kontrak konstruksi yang diatur
dalan UU 18 tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi dan lain-lain.
b. Perjanjian innominaat yang diatur dalam peraturan pemerintah, misalnya tentang
waralaba/frinchise yang diatur dalam Peraturan
Pemerintah N0 42 tahun 2007 tentang Waralaba.
Perjanjian innominaat bersifat khusus
sebagaimana tercantum dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku,
sedangkan perjanjian nominaat bersifat umum sehingga disini azas lex spesialis derogate legi generale
berlaku. Dengan demikian karena perjanjian kerja diatur secara khusus oleh
peraturan-perundang-undangan ketenagakerjaan maka perjanjian kerja termasuk
perjanjian innominat yang diatur
dalam perundang-undangan ketenagakerjaan.
[1] . Farianto
& Darmanto Law firm Himpunan
Putusan Mahkamah Agung dalam perkara PHI tentang Pemutusan Hubungan Kerja
disertai Ulasan Hukum. Jakarta PT.RajaGrafindo persada, 2009, hlm 3.
[2] . .
Imam soepomo Op.cid, hlm 70-71
[4]
. Salim
HS. Perkembangan hukum kontrak
innominaat di Indonesia Buku Kesatu. Jakarta : Sinar Grafika . 2003. Hlm 9.
[5] . Handri Raharjo dalam R.Subekti Op.cit , hlm. 13-14
[6] . BN.
Marbun Membuat Perjanjian yang Aman
dan Sesuai Hukum . Jakarta.Wisma hijau. 2009. hlm 53/
[8] . ibid
[9]. R.
Soeroso Perbandingan hukum perdata .
(cetakan ke-3 Jakarta : Sinar Grafika. 1999) hal 139
[11] . Mariam
Darus Badrulzaman , Op.cit. hal.
104-105
[13] . Ibid
[14] . Ibid
[15]
. Juni
Raharjo Hukum Adminitrasi
Indonesia Pengetahuan Dasar , Yokyakarta, Atma jaya. 1995). Hal 79.
[16] . Salim
HS. Op cit. hal 18.
[17] . Djaja
HS. Op. cit. hal 4 dan 17.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar