Rabu, 04 April 2012

TINDAK PIDANA KETENAGAKERJAAN


TINDAK PIDANA KETENAGAKERJAAN
|
PENDAHULUAN
Pengalaman berperkara di PHI (Pengadilan Hubungan Industrial) ternyata tidak menyelesaikan masalah, malahan menambah masalah. Buruh bolak-balik ke PHI tidak saja hanya bersidang, tetapi juga untuk mempertanyakan keberlanjutan kasusnya. Akibatnya buruh selalu dirugikan. Hak-hak yang dituntutnya tidak pernah dapat diperolehnya. Tidak jarang perkara buruh yang diajukan melalui proses PHI, akhirnya gantung begitu saja karena proses penyelesaian yang sangat lama. Bertahun-tahun penyelesaian perkara belum diputuskan final (incraacht van gewisde) tentu menimbulkan keputus-asaan.
Melihat realitas penyelesaian melalui PHI di atas, maka sesuai dengan UU Ketenagakerjaan (UUK) Nomor 13 tahun 2003 harapan buruh untuk mendapatkan keadilan dan kepastian hukum adalah melalui penegakan Tindak Pidana Ketenagakerjaan. UUK menegaskan bahwa institusi yang memiliki kewenangan melakukan penegakan Tindak Pidana Ketenagakerjaan (penyelidikan dan penyidikan) adalah Pegawai Pengawas Ketenagakerjaan (PPK) dan Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS).
Sesuai Pasal 176 UUK PPK/PPNS mempunyai kompetensi dan independen guna menjamin pelaksanaan peraturan perundang-undangan ketenagkerjaan. Untuk menjaga kompetensi dan independesi inilah maka UUK menetapkan bahwa pengangkatan PPK ditetapkan oleh Menteri atau pejabat yang ditunjuknya. Dengan demikian PPK dapat independen dari pengaruh-pengaruh kebijakan politik yang berkembang di daerah-daerah (termasuk kabupaten/kota). Jadi PPK dapat "menolak" kepentingan-kepentingan yang dipesan oleh siapapun pejabat di daerahnya.

JENIS-JENIS TINDAK PIDANA KETENAGAKERJAAN
Sebagaimana diatur dalam UUK pelanggaran atas hak-hak buruh dibagi dalam 2 kategori tindak pidana, yaitu :
  1. Tindak Pidana Kejahatan, terdiri dari :
o    Pelanggaran atas Pasal 74 UUK (larangan mempekerjakan anak-anak pada pekerjaan terburuk) ;
o    Pelanggaran atas Pasal 167 ayat (5) UUK (buruh yang diphk karena pensiun tetapi pengusaha tidak mau membayar pesangonnya 2 x ketentuan Pasal 156 UUK ;
o    Pelanggaran atas Pasal 42 ayat (1) dan ayat (2) (larangan pekerja asing tanpa ijin dan perorangan yang mempekerjakan pekerja asing) ;
o    Pelanggaran Pasal 68 (larangan mempekerjakan anak) ;
o    Pelanggaran Pasal 69 ayat (2) (mempekerjakan anak tanpa ijin orang tuanya) ;
o    Pelanggaran Pasal 80 (jaminan kesempatan beribadah yang cukup) ;
o    Pelanggaran Pasal 82 (cuti karena melahirkan dan keguguran) ;
o    Pelanggaran Pasal 90 ayat (1) (pembayaran upah di bawah Upah Minimum) ;
o    Pelanggaran Pasal 143 (menghalang-halangi kebebasan buruh utk berserikat) ;
o    Pelanggaran Pasal 160 ayat (4) dan ayat (7) (mempekerjakan buruh yang tidak bersalah dalam 6 bulan sebelum perkara pidana diadili dan kewajiban pengusaha membayar uang penghargaan masa kerja bagi buruh yang diphk karena diadili dalam perkara pidana);
o    Tindak pidana kejahatan atas pelanggaran hak-hak buruh juga diatur pada UU No. 3 tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja ; dan
o    Tindak pidana kejahatan atas pelanggaran UU No. 21 tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh
Segala perbuatan pengusaha yang melanggar ketentuan-ketentuan tersebut di atas diancam dengan hukum pidana (penjara) bervariasi sekurangnya satu (1) tahun dan paling lama lima (lima) tahun. Juga ada ancaman denda sekurang-kurangnya 100 juta rupiah dan 500 juta rupiah
  • 2.   Tindak Pidana Pelanggaran, terdiri dari :
·          
    • Pelanggaran Pasal 35 ayat (2) UUK (kewajiban pelaksana penempatan tenaga kerja memberi perlindungan sejak rekruitment sampai penempatan tenaga kerja) .
    • Pelanggaran Pasal 35 ayat (3) UUK (perlindungan oleh pemberi kerja atas kesejahteraan, keselamatan dan kesehatan mental dan fisik) .
    • Pelanggaran Pasal 93 ayat (2) UUK (pembayaran upah karena sakit/karena tugas negara/pengusaha tdk mau mempekerjakan buruh sesuai perjanjian/hak istirahat buruh/tugas melaksanakan fungsi serikat).
    • Pelanggaran Pasal 137 UUK (hak mogok) .
    • Pelangaran Pasal 138 ayat (1) UUK (menghalangi maksud serikat buruh untuk mogok kerja).
    • Pelanggaran Pasal 37 ayat (2) UUK (lembaga penempatan tenaga kerja tanpa ijin tertulis dari Menteri/pejabat yg ditunjuk).
    • Pelanggaran Pasal 44 ayat (1) UUK (pemberi tenaga kerja asing wajib menaati standart dan kompetensi yang berlaku) .
    • Pelanggaran Pasal 45 ayat (1) UUK (tenaga kerja WNI sebagai pendamping tenaga kerja asing).
    • Pelanggaran Pasal 67 ayat (1) UUK (pembayaran pesangon bagi buruh yang pensiun) .
    • Pelanggaran Pasal 71 ayat (2) UUK (syarat-syarat mempekerjakan anak).
    • Pelanggaran Pasal 76 UUK (perlindungan bagi buruh perempuan).
    • Pelanggaran Pasal 78 ayat (2) UUK (wajib bayar upah pada jama kerja jembur).
    • Pelanggaran Pasal 79 ayat (1) dan ayat (2) UUK (waktu istirahat bagi buruh).
    • Pelanggaran Pasal 85 ayat (3) UUK (pembayaran upah lembur pada hari libur resmi).
    • Pelanggaran Pasal 144 UUK (mengganti buruh yang mogok dengan buruh yan baru).
    • Pelanggaran atas Pasal 14 ayat (2) UUK (perijinan bagi lembaga pelatihan kerja swasta).
    • Pelanggaran Pasal 38 ayat (2) UUK (biaya penempatan tenaga kerja oleh swasta).
    • Pelanggaran Pasal 63 ayat (1) UUK (PKWT secara lisan, pengusaha wajib membuat surat pengangkatan).
    • Pelanggaran atas Pasal 78 ayat (1) UUK (syarat-syarat mempekerjakan buruh di luar jam kerja).
    • Pelanggaran Pasal 108 ayat (1) UUK (wajib membuat peraturan perusahaan dengan 10 orang buruh).
    • Pelanggaran Pasal 111 ayat (3) UUK (masa berlaku Peraturan 2 tahun dan wajib diperbaharui).
    • Pelanggaran Pasal 114 UUK (peraturan perusahaan wajib dijelaskan kepada buruh dan perubahannya).
    • Pelanggaran Pasal 148 UUK (syarat-syarat lock out ).
    • Pelanggaran di bidang ketenagakerjaan juga diatur pada UU No. 3 tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja .
    • PelanggaranUU No. 21 tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh.
Segala perbuatan pengusaha yang melanggar pasal-pasal tersebut diatas diancam dengan ancaman hukuman kurungan sekurang-kurangnya 1 bulan dan paling lama 4 bulan. Juga diancam dengan hukuman denda sekurang-kurangnya 10 juta rupiah dan sebanyak-banyaknya 100 juta rupiah.




KEWENANGAN PPK/PPNS
Kewenangan PPK sebagai Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) secara khusus adalah melakukan penyidikan di bidang ketenagakerjaan (sama dengan kewenangan dari Penyidik Pejabat POLRI) sebagaimana diatur pada pasal 182 (2) UUK, yaitu :
  1. melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan serta keterangan tentang tindak pidana di bidang ketenagakerjaan ;
  2. melakukan pemeriksaan terhadap orang yang diduga melakukan tindak pidana di bidang ketenagakerjaan ;
  3. meminta keterangan dan bahan bukti dari orang atau badan hukum sehubungan dengan tindak pidana di bidang ketenagakerjaan ;
  4. melakukan pemeriksaan atau penyitaan bahan atau barang bukti dalam pekara tindak pidana di bidang ketenagakerjaan ;
  5. melakukan pemeriksaan atas surat dan/atau dokumen lain tentang tindak pidana di bidang ketenagakerjaan;
  6. meminta bantuan tenaga ahli dalam rangka pelaksanaan tugas-tugas penyidikan tindak pidana di bidang ketenagakerjaan ; dan
  7. menghentikan penyidikan apabila tidak terdapat cukup bukti yang membuktikan tentang adanya tindak pidana di bidang ketenagakerjaan.
Menjalankan kewenangan tersebut tentulah tidak mudah, karena yang diawasi adalah pengusaha yang memiliki kekayaan (uang). Sehingga dengan kekayaan yang dimiliki pengusaha dapat mempengaruhi berbagai pihak demi kepentingannya. Sudah menjadi rahasia umum, bahwa selama ini pengusaha mengeluarkan biaya siluman demi kelancaran usahanya baik secara terpaksa maupun dengan sukarela.

Oleh karena itu dalam menjalankan peran dan fungsinya PPK/PPNS harus memiliki komitment yang kuat dan konsistensi melakukan tugas-tugas pengawasannya. Kekecewaan terhadap praktek PHI akhir-akhir ini akan memaksa buruh mencari alternatif untuk menemukan keadilan dan kepastian hukum khususnya mengenai pelanggaran hak-hak buruh sebagaimana diatur oleh UU.

Paran PPK/PPNS tak perlu kuatir atas hal ini, karena serikat-serikat buruh pastilah mendukung kerja PPK/PPNS untuk menegakkan pelaksanaan hak-hak buruh yang diabaikan oleh pengusaha selama ini. Begitu banyak pelanggaran hak-hak buruh yang terjadi selama ini, misalnya : upah dibawah UMP/UMK, buruh tidak didaftarkan menjadi peserta Jamsostek, penggelapan dana jamsostek, dll, tetapi sampai sekarang sangat jarang (bisa dikatakan tak pernah ada) pengusaha yang diperiksa dan diadili di pengadilan. Tumpuan harapan ini tentulah tidak berlebihan jika ditujukan kepada PPK/PPNS.

PERLU KOORDINASI PPK/PPNS DENGAN SERIKAT BURUH
Pengaturan tindak pidana kejahatan dan tindak pidana pelanggaran di bidang ketenagakerjaan tersebut adalah merupakan suatu peluang bagi kalangan buruh untuk memperjuangkan hak-hak dari kaum buruh. Oleh karena itu aktivis buruh jangan terfokus pada penyelesaian ala PPHI, tetapi setiap pelanggaran hak-hak buruh harus didorong melalui jalur pidana yaitu PPK/PPNS ataupun langsung kepada Polri selaku penyidik tindak pidana sesuai dengan KUHAP (UU No. 8 tahun 1981).

Memang pengaturan tindak pidana dalam UU tersebut belum mengatur semua kejahatan - kejahatan yang terjadi terhadap buruh, seperti : penerapan outsourcing, kontrak, borongan dan harian lepas secara berlebihan (tidak sesuai dengan UU).

Tetapi apa yang menjadi kewenangan dari PPK/PPNS tersebut, jika dimaksimalkan akan dapat memberikan shock therapy bagi pengusaha untuk menghargai hukum dan buruh sebagai tulang punggung perekonomian suatu bangsa.

Pada prakteknya pelaksanaan tugas PPK/PPNS tidak mudah. Banyak situasi internal pemerintahan yang mengakibatkan tugas PPK tidak dapat berjalan. Misalnya : lemahnya dukungan pemerintah mengenai fasilitas dan rendahnya tingkat profesionalisme dan militansi PPK dalam berhadapan dengan pengusaha (sumber : notulensi pendidikan dan pelatihan bagi PPNS se Sumut kerja sama KOMNAS HAM dan KPS di Hotel Garuda Plaza Medan tgl 30 - 31 Juli 2007). Untuk itu, pemerintah perlu serius mendukung dan membenahi kinerja PPK/PPNS .

Di samping itu dalam melaksanakan tugasnya, PPK diharapkan mau bekerja sama atau meminta informasi dan data-data secara rutin (reguler) kepada pengurus-pengurus serikat buruh tingkat kabupaten/kota termasuk serikat buruh pada tingkat perusahaan. Informasi dan data-data dari serikat-serikat buruh tentu akan menjadi informasi yang sangat penting tentang ada atau tidak adanya pelanggaran hak-hak buruh di perusahaan-perusahaan.

Tugas pengawasan dan penyidikan atas pelanggaran hak-hak dari buruh di perusahaan-perusahaan yang dilakukan oleh PPK tentu akan semakin efektif jika PPK mampu membangun koordinasi dan kerjasama dengan Kepolisian dan Kejaksaan.

Harapan buruh kepada PPK saat ini sangat besar untuk berani bertindak tegas kepada pengusaha-pengusaha nakal yang selalu melanggar / melawan ketentuan UU. UU mengatakan pengusaha dapat dipenjara karena melanggar UU, bukan hanya buruh yang dapat dipenjara. Semua orang sama kedudukannya dihadapan hukum.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar